Rasulullah SAW, Sang Teladan Kesederhanaan
Oleh: Indah Noor Islami, SE –(Manajer Administrasi dan Keuangan LAZIS UNS)
- Rasulullah saw pernah menjadi orang yang sangat kaya agar umatnya yang dianugerahi kekayaan dapat mencontoh beliau tatkala berinteraksi dengan harta: bagaimana cara memperoleh harta yang halal, bagaimana mensyukuri kekayaan, dan bagaimana membelajakannya di jalan Allah. Sebaliknya, nabi pernah pula mengalami kekurangan supaya orang-orang miskin bisa meneladani beliau: bersabar dan menjaga kehormatan diri, sekaligus keluar dari jerat kemiskinan dengan cara yang baik. Rasul telah dianugerahi harta yang sangat banyak, tetapi sesaat kemudian beliau berada dalam kesederhanaan karena diberikannya kepada para yatim dan dhuafa. (Syafii Antonio, Muhammad SAW The Super Leader Super Manager)
Muhammad SAW pernah sukses dalam menjalankan bisnisnya. Beliau juga pernah menjadi pemimpinan besar umat yang wilayah kekuasaannya sangat luas. Tetapi, bagaimana dengan jumlah kekayaan yang dimilikinya? Tidak ada catatan yang secara lengkap menggambarkan jumlah kekayaan yang dimiliki Muhammad SAW, baik pada masa sebelum menjadi rasul maupun pada masa kenabian. Meskipun begitu, beliau memberikan mahar kepada Khadijah sebanyak 20 ekor unta dan 12 uqiyah (ons) emas. Jumlah yang tergolong sangat banyak bila dikonversi dengan uang pada masa itu ataupun pada masa sekarang. Setelah menikah, kekayaan nabi bertambah karena kekayaan yang dimilikinya dikembangkan melalui perdagangan bersama dengan harta Khadijah. Akan tetapi, tidak banyak diketahui, apa yang terjadi pada harta kekayaan Muhammad SAW selanjutnya.Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul, beliau lebih sibuk berdakwah ketimbang mengurusi perdagangan. Beliau banyak menggunakan harta kekayaannya di jalan Allah, seperti menyantuni fakir miskin dan anak yatim, serta kegiatan sosial lainnya. Harta kekayaan Nabi sedikit demi sedikit berkurang karena digunakan untuk berbagai keperluan hidup dan dakwah. Bahkan menurut beberapa riwayat, beliau tidak menyimpan kekayaan di rumahnya. Menurut riwayat lain, barang-barang yang ditemui di rumah beliau hanyalah beberapa peralatan masak dan tikar untuk alas tidur.
Amru bin Harith R.A. meriwayatkan bahawa Rasulullah SAW ketika wafat tidak meninggalkan dinar, dirham, hamba sahaya lelaki atau perempuan, dan tiada sesuatu apa pun, kecuali keledai putih yang biasa ditungganginya dan sebidang tanah yang disedekahkan untuk kepentingan orang-orang yang merantau. Sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasulullah SAW selama hidupnya adalah seorang yang berkepribadian sederhana. Meskipun memiliki kekuasaan yang besar, tidak sedikitpun dimanfaatkannya untuk memiliki harta yang berlimpah. Kesederhanaan Rasulullah SAW tidak terbatas pada sikap Beliau yang memang sangat sederhana, tetapi juga terhadap apa saja yang dimilikinya. Hal itu tampak jelas dalam kehidupan sehari-harinya. Rasulullah SAW bersabda: “Tiada hak bagi seorang anak Adam dalam semua hal ini kecuali rumah tempat tinggal, baju yang menutup auratnya, roti kering dan air.” (HR Tirmidzi) Dalam riwayat yang lain, Ibnu Abbas R.A. menceritakan bahawa kadang-kadang Rasulullah SAW beserta keluarganya tidak makan beberapa malam, kerana tidak ada makanan dan kebanyakan makanan mereka terdiri dari roti dan tepung gandum.
Dalam kehidupan dunia hari ini yang semakin materialistik, sikap sederhana adalah sesuatu yang jarang ditemui. Kebanyakan manusia cenderung mempertontonkan kemewahan dan berlebihan terhadap apa yang mereka miliki. Kebanyakan manusia merasa tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka miliki. Ketika mereka telah dikurniakan oleh Allah SWT kendaraan berupa sepeda motor misalnya, mereka ingin memiliki mobil. Apabila hajatnya sudah dipenuhi, mereka berusaha memiliki kendaraan yang lebih mewah. Begitulah sifat tamak manusia yang akhirnya menyebabkan seseorang itu menjadi bakhil kerana takut akan kemiskinan atau berkurangnya harta kekayaan. Firman Allah SWT: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari kurnia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Ali Imran: 180)
Perilaku di atas sering kali menjerumuskan manusia pada perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam. Ketika manusia cenderung berperilaku berlebih-lebihan, sering kali pula manusia dibutakan matanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan berupa perbuatan menghalalkan yang haram serta bentuk-bentuk kejahatan yang lain. Padahal, asas kesederhanaan adalah qanaah, yaitu adanya rasa kecukupan pada dirinya dengan apa yang diterimanya.
Hidup sederhana adalah hidup tidak berlebih-lebihan, tidak bersikap mempertontonkan kemewahan kepada orang lain. Hidup sederhana juga berarti senantiasa berlaku adil serta mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Sikap hidup sederhana juga bererti menempatkan sesuatu pada tempatnya, menggunakan harta yang dimilikinya untuk kepentingan dan kemaslahatan umat, dan sentiasa berzakat dan bersedekah. Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-Hasyr: 9)
Mari kita melihat kembali pribadi Rasulullah SAW. Ketika Islam telah memiliki pengaruh yang sedemikian kuat dan disegani, dan ketika para raja-raja di Romawi bergelimang harta, maka Rasulullah masih saja tidur beralaskan tikar di rumahnya yang sederhana. Kalau ada pakaian yang koyak, Rasulullah menambalnya sendiri, tidak menyuruh isterinya. Beliau juga memerah sendiri susu kambing, untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual. Setiap kali pulang ke rumah, bila dilihat tiada makanan yang siap untuk dimakan, sambil tersenyum baginda menyingsing lengan bajunya untuk membantu isterinya didapur. Aisyah menceritakan, kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumah tangga.
Pada suatu ketika Rasulullah SAW menjadi imam sholat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan beliau antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh beliau yang mulia itu bergeser antara satu sama lain. Umar R.A. yang tidak tahan melihat keadaan beliau langsung bertanya setelah selesai sholat : ” Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah Engkau menanggung penderitaan yang amat berat, sakitkah Engkau ya Rasulullah?”
“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah aku sehat dan segar”
“Ya Rasulullah…mengapa setiap kali Engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin Engkau sedang sakit,” desak Umar penuh cemas.
Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut beliau yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh beliau.
“Ya Rasulullah! Adakah bila Engkau menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya untukmu?”
Lalu beliau menjawab dengan lembut,
“Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya? Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan didunia lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di akhirat kelak” Subhanallah… (- tulisan ini diterbitkan juga di majalah enha edisi 21 )